Mengukur Kekuatan (1)



(1)

Sore itu awan menutup sebagian besar langit. Angin berembus kencang menandakan hujan akan turun dengan segera. Burung burung sudah menemukan tempat yang nyaman untuk berlindung. Katak menyambut suasana yang riang itu dengan suak cita. Mengiringinya dengan nyanyian merdu penuh dipadukan dengan harmoni alam.

Di dalam dinding biru berkeramik putih. Alunan suara bocah bocah mengaji seperti tak menghiraukan suara guntur di luar. Sejak 30 menit kegiatan itu berlalu. Tempat mengaji itu baru setahun berdiri. Di papan depan tertulis TPQ Shirothul Mustaqim. Mungkin karena banyak orang keblinger maka tempat itu dinamai begitu.

"Anak-anak coba diulangi dengan suara keras dan lantang'.

Tak lama kemudian kembali kita dengar ejaan huruf hijaiyah dibunyikan dari sudut ruangan.

Di ruangan itu ada guru ngaji cantik berkaca mata tebal. Kulitnya kecoklatan tanpa jerawat. Hidungnya agak mancung ke dalam. Matanya lebar, tapi penuh keanggunan. Tak pernah ada bentakan kasar maupun umpatan keluar dari mulut kecilnya. Sudah setahun ini dia menjadi instruktur di tempat itu. Perawakannya menyenangkan tapi dia pendiam. Jadilah dia gadis yang jarang membaur dengan lingkungannya. Tapi dia sangat menyayangi anak - anak disana.

Perlahan tapi pasti kegiatan sore itu tertunaikan dengan baik. Dia sudahi dengan membaca hamdalah dan do'a kafaratul majlis. Dia tutup majlis sore itu dengan menyalami satu per satu anak didiknya yang masih di usia dini.

Kata orang mendidik anak kecil laksana menanam tanaman merambat yang masih muda, sangat mudah di bentuk sesuai lanjaran atau tiang penyangganya. Demikian juga dengan wajah manis didepan matanya kini, dia sangat berharap ajaran yang diperoleh anak-anak itu akan di terapkan terus hingga dia besar nanti.

Tapi jika mengajari orang tua seperti melilitkan pohon di tiang. Pohon yang kayunya sudah kokoh bakal sudah dibentuk sesuai keinginannya.

Belum lagi, karena sedikitnya dosa anak kecil. Lebih mudah untuk mengajak dan membimbing mereka ke arah kebaikan.

Dia merenung, ketika hujan mengguyur rumah kecil itu ditemani angin kencang. Dingin menembus kulit. Bahkan jaket pun seolah tanpa fungsi. Udara dingin masih bisa menyusup menembus tulang belulangnya.

Sore semakin mendekap erat dia dengan kesendiriannya. dia tak punya pilihan. Cuaca siang ini ketika dia berangkat sangat cerah, jadi dia tak bawa mantel ataupun payung. Toh, sudah beberapa hari hujan tak menyapa bumi. Maka sore ini dia semakin gamang, mau pulang dan basah kuyub atau berteduh dan kemalaman menuju rumah.

---
Bersambung.....

Komentar

Paling dicari

Seri Keputrian : Perempuan dan kecantikan.

Sejarah : Kisah Nabi Muhammad SAW

Dunia Berkualitas kita